Rilis : 8 Januari 2016
Genre : Adventure, Drama, history
Durasi : 156 Menit
Sutradara : Alejandro González Iñárritu
Produser : Arnon Milchan, Steve Golin, Alejandro González Iñárritu, Mary Parent, Keith Redmon, James W. Skotchdopole
Pemain : Leonardo Di Caprio, Tom Hardy, Domhnall Gleeson, Will Poulter
Kata 'revenant' diartikan sebagai orang yang datang kembali setelah sekian lama menghilang atau dianggap mati. Kata ini kemudian dipakai oleh pengarang Michael Punke untuk novelnya di tahun 2002, The Revenant. Novel ini terinspirasi dari kejadian nyata di pedalaman Amerika Utara abad ke-19, ketika Hugh Glass yang terluka parah akibat diserang beruang ditelantarkan oleh rekan-rekannya, lalu dalam keadaan tersebut ia berhasil melakukan perjalanan pulang ratusan kilometer sendirian.
Cerita dasar yang memang sangat menarik itu kemudian disulap jadi sebuah film bertema survival oleh sineas asal Meksiko, Alejandro González Iñárritu. Dalam credit-nya, versi film The Revenant diadaptasi sebagian dari novel karya Punke. Dengan klaim demikian, boleh dikatakan González Iñárritu punya kebebasan dalam mengembangkan kisah ini sesuai visinya. Kisah Hugh Glass dipindahkan dari musim panas ke musim dingin yang lebih menantang—dan film ini pun jadi sebuah eksperimen syuting sepenuhnya di lokasi pegunungan bersalju asli di Kanada dan Argentina.
Film The Revenant masih mengikuti garis besar cerita dari kisah aslinya, namun ditambahkan dengan berbagai sentuhan yang membuat kisahnya lebih menyoroti pergulatan batin tokohnya. Hugh Glass (Leonardo DiCaprio) tergabung dalam regu pemburu bulu hewan pimpinan Kapten Andrew Henry (Domhnall Gleeson) di pedalaman hutan Amerika. Hugh jadi anggota andalan dengan pengetahuan navigasi dan persenjataan yang kaya.
Malang bagi Hugh, ketika ia masuk ke sebuah hutan untuk berburu, ia diserang oleh seekor induk beruang grizzly. Serangan itu membuat Hugh sekarat, sehingga regu seperjalanannya tak sanggup untuk terus membawanya. Maka, rekannya sesama pemburu, John Fitzgerald (Tom Hardy) dan Bridger (Will Poulter) ditugaskan sang kapten untuk menjaga Hugh, dan menguburkannya dengan layak bila saatnya telah tiba. Namun, kedua orang tersebut malah mangkir dari tugas dan meninggalkan Hugh sendirian. Menolak untuk mati, Hugh bangkit dalam keadaan dingin dan sekarat, melintasi medan bersalju yang ganas menuju markasnya.
Plot film ini sebenarnya sesederhana itu, tidak ada yang bisa dikatakan istimewa karena arah dan tujuan sang tokoh sudah jelas sejak bagian awal. Namun, apa yang dilakukan oleh González Iñárritu bukan hanya memperberat perjuangan Hugh di musim salju menusuk, tetapi juga memperdalam motivasi Hugh dan tokoh-tokoh lain dalam tindakannya. Pada bagian awal, ditunjukkan jalan pemikiran yang bertolak belakang antara Hugh dan John yang memunculkan benih dengki, apalagi Kapten Henry lebih mengandalkan Hugh untuk urusan navigasi. Sehingga, saat harus menjaga Hugh yang sekarat, dorongan John untuk menelantarkannya jadi lebih beralasan.
Demikian pula dengan Hugh, yang mengerahkan segala tenaga untuk pulang, bukan cuma karena naluri dasar untuk sintas dan dendam pada orang yang berbuat jahat padanya. Ia diceritakan punya masa lalu yang cukup kelam, harus kehilangan istrinya yang berasal dari suku Indian akibat sebuah serangan bersenjata, dan akhirnya sekarang ia selalu bersama putra remajanya, Hawk (Forrest Goodluck) ke mana pun ia pergi. Ketika satu-satunya anak yang disayanginya itu juga direnggut dari dirinya, Hugh justru makin terdorong untuk menuntaskan dendamnya. Motivasi ini seakan paralel dengan induk beruang yang menyerang Hugh karena ia menodongkan senjata kepada anak-anak beruang.
KONTEKS ZAMAN
Dalam durasi dua jam 30 menit, sebagian besar film ini berisi perjalanan Hugh dalam segala kesusahannya—ditambah adegan pertempuran dan baku hantam. Upaya Hugh bertahan hidup juga digambarkan cukup detail, mulai dari caranya merangkak hingga berdiri tegak dalam keadaan terluka, mencari makanan dari alam sekitarnya, hingga membuat tempat perlindungan hangat agar bisa bertahan dari badai dingin di waktu malam. Tak hanya itu, ia juga harus menghindar dari regu-regu bersenjata yang tidak ia kenal, baik dari suku Indian maupun kaum pendatang seperti dirinya.
Dengan adegan-adegan yang intens serta penataan visual yang dinamis dan presisi dalam memanfaatkan pemandangan alam, perjuangan Hugh dalam The Revenant menjadi sebuah tontonan yang membelalak mata sekaligus membuat nyeri. Beberapa adegan yang violent ditampilkan efektif dan realistis—termasuk adegan Hugh diserang beruang yang disorot cukup panjang, didukung pula dengan akting para pemain yang tak sekalipun kendor. Film ini pun sukses jadi sajian spektakuler dengan kelengkapan sinematik yang maksimal.
Hanya saja, beberapa bagian kisah film ini seperti kurang utuh, entah disengaja atau tidak. Durasi yang sangat panjang itu rupanya tidak dimanfaatkan untuk memberi gambaran lebih banyak tentang latar belakang tokoh-tokohnya, ataupun tentang kompleksitas hubungan antara warga kulit putih Amerika, Prancis, dan suku penduduk asli saat itu. Hal ini hanya diselipkan sekilas saja dalam segelintir gambar flashback dan dialog.
Sebenarnya terlihat ada upaya dari film ini memberi konteks sosial dan budaya pada zaman itu lewat kilasan gambar dan beberapa titik yang dilewati Hugh, mungkin dengan harapan penonton sudah tahu atau nanti akan cari tahu sendiri selengkapnya. Walau niat itu baik, permasalahannya mungkin tak semua penonton bisa menangkapnya dengan penjelasan seminim itu. Kalaupun alasannya mempersingkat waktu dan laju cerita, kenapa tak diterapkan pada keseluruhan film dengan, misalnya, mempersingkat durasi perjalanan Hugh di layar?
Meski begitu, sulit untuk tidak mengagumi The Revenant sebagai sebuah pencapaian bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Plot yang sederhana tetap punya ketebalan makna lewat adegan-adegan yang memberi efek emosional, akting tak banyak bicara dan kerap tertutup kostum dan make-up tetap sanggup dibawakan dengan depth lewat gestur dan sorotan mata, hingga gambar-gambar sangat indah yang ditangkap tanpa pencahayaan buatan. Semua itu seolah jadi kompensasi yang sangat pantas, membuat durasi panjang dan lajunya yang lambat bisa dimaafkan. (source, muvila.com)
Genre : Adventure, Drama, history
Durasi : 156 Menit
Sutradara : Alejandro González Iñárritu
Produser : Arnon Milchan, Steve Golin, Alejandro González Iñárritu, Mary Parent, Keith Redmon, James W. Skotchdopole
Pemain : Leonardo Di Caprio, Tom Hardy, Domhnall Gleeson, Will Poulter
Kata 'revenant' diartikan sebagai orang yang datang kembali setelah sekian lama menghilang atau dianggap mati. Kata ini kemudian dipakai oleh pengarang Michael Punke untuk novelnya di tahun 2002, The Revenant. Novel ini terinspirasi dari kejadian nyata di pedalaman Amerika Utara abad ke-19, ketika Hugh Glass yang terluka parah akibat diserang beruang ditelantarkan oleh rekan-rekannya, lalu dalam keadaan tersebut ia berhasil melakukan perjalanan pulang ratusan kilometer sendirian.
Cerita dasar yang memang sangat menarik itu kemudian disulap jadi sebuah film bertema survival oleh sineas asal Meksiko, Alejandro González Iñárritu. Dalam credit-nya, versi film The Revenant diadaptasi sebagian dari novel karya Punke. Dengan klaim demikian, boleh dikatakan González Iñárritu punya kebebasan dalam mengembangkan kisah ini sesuai visinya. Kisah Hugh Glass dipindahkan dari musim panas ke musim dingin yang lebih menantang—dan film ini pun jadi sebuah eksperimen syuting sepenuhnya di lokasi pegunungan bersalju asli di Kanada dan Argentina.
Film The Revenant masih mengikuti garis besar cerita dari kisah aslinya, namun ditambahkan dengan berbagai sentuhan yang membuat kisahnya lebih menyoroti pergulatan batin tokohnya. Hugh Glass (Leonardo DiCaprio) tergabung dalam regu pemburu bulu hewan pimpinan Kapten Andrew Henry (Domhnall Gleeson) di pedalaman hutan Amerika. Hugh jadi anggota andalan dengan pengetahuan navigasi dan persenjataan yang kaya.
Malang bagi Hugh, ketika ia masuk ke sebuah hutan untuk berburu, ia diserang oleh seekor induk beruang grizzly. Serangan itu membuat Hugh sekarat, sehingga regu seperjalanannya tak sanggup untuk terus membawanya. Maka, rekannya sesama pemburu, John Fitzgerald (Tom Hardy) dan Bridger (Will Poulter) ditugaskan sang kapten untuk menjaga Hugh, dan menguburkannya dengan layak bila saatnya telah tiba. Namun, kedua orang tersebut malah mangkir dari tugas dan meninggalkan Hugh sendirian. Menolak untuk mati, Hugh bangkit dalam keadaan dingin dan sekarat, melintasi medan bersalju yang ganas menuju markasnya.
Plot film ini sebenarnya sesederhana itu, tidak ada yang bisa dikatakan istimewa karena arah dan tujuan sang tokoh sudah jelas sejak bagian awal. Namun, apa yang dilakukan oleh González Iñárritu bukan hanya memperberat perjuangan Hugh di musim salju menusuk, tetapi juga memperdalam motivasi Hugh dan tokoh-tokoh lain dalam tindakannya. Pada bagian awal, ditunjukkan jalan pemikiran yang bertolak belakang antara Hugh dan John yang memunculkan benih dengki, apalagi Kapten Henry lebih mengandalkan Hugh untuk urusan navigasi. Sehingga, saat harus menjaga Hugh yang sekarat, dorongan John untuk menelantarkannya jadi lebih beralasan.
Demikian pula dengan Hugh, yang mengerahkan segala tenaga untuk pulang, bukan cuma karena naluri dasar untuk sintas dan dendam pada orang yang berbuat jahat padanya. Ia diceritakan punya masa lalu yang cukup kelam, harus kehilangan istrinya yang berasal dari suku Indian akibat sebuah serangan bersenjata, dan akhirnya sekarang ia selalu bersama putra remajanya, Hawk (Forrest Goodluck) ke mana pun ia pergi. Ketika satu-satunya anak yang disayanginya itu juga direnggut dari dirinya, Hugh justru makin terdorong untuk menuntaskan dendamnya. Motivasi ini seakan paralel dengan induk beruang yang menyerang Hugh karena ia menodongkan senjata kepada anak-anak beruang.
KONTEKS ZAMAN
Dalam durasi dua jam 30 menit, sebagian besar film ini berisi perjalanan Hugh dalam segala kesusahannya—ditambah adegan pertempuran dan baku hantam. Upaya Hugh bertahan hidup juga digambarkan cukup detail, mulai dari caranya merangkak hingga berdiri tegak dalam keadaan terluka, mencari makanan dari alam sekitarnya, hingga membuat tempat perlindungan hangat agar bisa bertahan dari badai dingin di waktu malam. Tak hanya itu, ia juga harus menghindar dari regu-regu bersenjata yang tidak ia kenal, baik dari suku Indian maupun kaum pendatang seperti dirinya.
Dengan adegan-adegan yang intens serta penataan visual yang dinamis dan presisi dalam memanfaatkan pemandangan alam, perjuangan Hugh dalam The Revenant menjadi sebuah tontonan yang membelalak mata sekaligus membuat nyeri. Beberapa adegan yang violent ditampilkan efektif dan realistis—termasuk adegan Hugh diserang beruang yang disorot cukup panjang, didukung pula dengan akting para pemain yang tak sekalipun kendor. Film ini pun sukses jadi sajian spektakuler dengan kelengkapan sinematik yang maksimal.
Hanya saja, beberapa bagian kisah film ini seperti kurang utuh, entah disengaja atau tidak. Durasi yang sangat panjang itu rupanya tidak dimanfaatkan untuk memberi gambaran lebih banyak tentang latar belakang tokoh-tokohnya, ataupun tentang kompleksitas hubungan antara warga kulit putih Amerika, Prancis, dan suku penduduk asli saat itu. Hal ini hanya diselipkan sekilas saja dalam segelintir gambar flashback dan dialog.
Sebenarnya terlihat ada upaya dari film ini memberi konteks sosial dan budaya pada zaman itu lewat kilasan gambar dan beberapa titik yang dilewati Hugh, mungkin dengan harapan penonton sudah tahu atau nanti akan cari tahu sendiri selengkapnya. Walau niat itu baik, permasalahannya mungkin tak semua penonton bisa menangkapnya dengan penjelasan seminim itu. Kalaupun alasannya mempersingkat waktu dan laju cerita, kenapa tak diterapkan pada keseluruhan film dengan, misalnya, mempersingkat durasi perjalanan Hugh di layar?
Meski begitu, sulit untuk tidak mengagumi The Revenant sebagai sebuah pencapaian bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Plot yang sederhana tetap punya ketebalan makna lewat adegan-adegan yang memberi efek emosional, akting tak banyak bicara dan kerap tertutup kostum dan make-up tetap sanggup dibawakan dengan depth lewat gestur dan sorotan mata, hingga gambar-gambar sangat indah yang ditangkap tanpa pencahayaan buatan. Semua itu seolah jadi kompensasi yang sangat pantas, membuat durasi panjang dan lajunya yang lambat bisa dimaafkan. (source, muvila.com)
Komentar
Posting Komentar