Justru fakta itulah yang menjadikan sosoknya sempurna untuk memulai buku ini.
Bukowski bercita-cita menjadi seorang penulis. Namun karyanya terus menerus ditolak oleh hampir setiap majalah, surat kabar, jurnal, agen, dan penerbit yang pernah dihubunginya. Tulisannya sangat hancur, kata mereka. Kasar. Menjijikan. Tidak bermoral. Dan begitu tumpukan surat penolakan bertambah tinggi, beban dari kegagalan tersebut mendorongnya ke dalam sebuah depresi yang kian diperberat oleh alkohol, yang terus menghantui sebagian besar hidupnya.
Sehari-hari, Bukowski bekerja sebagai seorang penyortir surat di sebuah kantor pos. ia digaji sangat rendah, dan hampir seluruh uangnya dihabiskan untuk minuman keras. Barulah sisanya ia pakai untuk berjudi di pacuan kuda. Malamnya, ia minum-minum sendirian, dan kadang menuntaskan puisi di mesin tik usangnya. Kerap kali, dia siuman di lantai setelah pingsan semalam sebelumnya.
Tiga puluh tahun berjalan tanpa arti seperti itu, hampir seluruh waktunya ada dalam baying-bayang alkohol, narkoba, judi, dan pelacuran. Kemudian, saat Bukowski berusia 50 tahun, setelah seumur hidup merasa gagal dan membenci diri sendiri, seorang editor di sebuah peperbitan independen kecil menaruh minat yang aneh terhadap dirinya. Editor ini tidak menawari Bukowski segepok uang atau penjualan buku yang menjanjikan. Namun dia menaruh ketertarikan yang ganjil terhadap si pemabuk dan pecundang ini, jadi dia memutuskan untuk memberikan satu kesempatan. Itulah peluang pertama Bukowski, dan, ia sadar, mungkin itu satu-satunya yang bias didapatkannya. Bukowski menjawab tantangan sang editor, “Saya hanya bisa memilih satu dari dua pilihan—tetap bekerja di kantor pos dan bakalan sinting… atau tetap di luar sini, menjadi penulis, dan kelaparan. Saya lebih memilih kelaparan saja”.
Setelah menandatangani kontrak, Bukowski menulis novel pertamanya hanya dalam 3 minggu. Judulnya sederhana Post Office. Di dalamnya, dia menulis, “Didedikasikan untuk tak seorang pun”.
Kelak Bukowski mencatatkan diri sebagai seorang penulis novel dan puisi yang sukses. Dia terus berkarya dan menerbitkan 6 novel dan ratusan puisi, menjual lebih dari 2 juta kopi. Popularitasnya melampaui harapan setiap orang, terutama ekspektasinya sendiri.
Kisah Bukowski ibarat amunisi untuk kultur cerita inspiratif di zaman kita. Kehidupan Bukowski mewakili perjalanan Mimpi Amerika: seorang pria yang berjuang atas apa yang diinginkannya, pantang menyerah, dan pada akhirnya meraih mimpinya. Praktis, ini seperti sebuah film. Kita semua menyaksikan cerita Bukowski dan berkata, “Apa kubilang? Orang ini tidak pernah menyerah . orang ini tidak pernah berhenti mencoba. Orang ini selalu percaya diri. Ia gigih melawan segala rintangan, dan akhirnya sukses!”
Tapi, semua narasi itu terdengar janggal, karena di atas batu nisan Bukowski tertulis: “Jangan Berusaha”.
Lihat, meski nyatanya bukunya laris manis dan sosoknya terkenal, Bukowski dulunya adalah seorang pecundang. Ia tahu benar itu. Dan keberhasilannya bukan hasil kegigihannya untuk menjadi seorang pemenang, namun dari kenyataan bahwa ia tahu kalau dirinya seorang pecundang, menerimanya, dan kemudian menulis secara jujur tentangnya. Ia tidak pernah mencoba untuk menjadi selain dirinya sendiri. Kecerdasan dalam tulisan Bukowski bukan soal memnafaatkan peluang yang luar biasa atau mengembangkan dirinya menjadi seorang sastrawan yang gemilang. Yang ada adalah kebalikannya. Ia hebat karena kemampuan sederhananya untuk jujur pada diri sendiri sepenuhnya dan setulusnya—terutama mengkui hal-hal paling buruk yang ada pada dirinya sekalipun—dan untuk membagikan perasaannya tanpa segan atau ragu.
Ini adalah cerita di balik kesuksesan Bukowski yang sesungguhnya: dia “nyaman” dengan cerminan dirinya yang dianggap sebagai sebuah
kegagalan. Bukowski sama sekali masa bodoh dengan kesuksesan. Bahkan setelah dia menjadi terkenal, dia masih muncul dalam pembacaan puisi, mendamprat, dan mencibir audiensnya dengan kasar. Dia masih mengekspos dirinya di muka umum dan meniduri setiap perempuan yang ditemuinya. Menjadi terkenal dan sukses tidak mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik. Dan ia menjadi terkenal dan sukses, bukan karena perubahannya menjadi orang yang lebih baik.
Perbaikan diri dan kesuksesan kadang terjadi bersama. Namun itu tidak lantas berarti keduanya adalah hal yang sama.
Budaya kita hari ini terobsesi untuk mewujudkan harapan-harapan positifyang mustahil diwujudkan: Menjadi lebih bahagia. Menjadi lebih sehat. Menjadi paling baik, lebih baik daripada lainnya. Menjadi lebih pintar, lebih cepat, lebih kaya, lebih seksi, lebih populer, lebih produktif, lebih diinginkan, dan lebih dikagumi. Menjadi sempurna dan memukau, setiap hari anda meninggalkan segepok emas 24 karat, usai sarapan dan mencium istri anda yang bahenol dan telah siap melakukan selfie, lalu berpamitan pada anak-anak anda yang manis dan gendut. Lalu menerbangkan helicopter pribadi ke tempat kerja yang menyenangkan, di mana anda bisa menghabiskan hari-hari dengan mengerjakan hal-hal yang sangat bermakna, misalnya menyelamatkan planet ini.
Namun ketika anda berhenti sejenak dan sungguh merenungkannya, nasihat hidup yang konvensional—segala macam nasihat motovasional untuk menjadi pribadi yang positif atau menyenangkan yang selalu kita dengar—sebenarnya justru memberi penekanan pada kekurangan anda. Nasihat itu langsung menyoroti apa yang anda anggap sebagai kekurangan dan kegagalan pribadi anda,kemudian menggarisbawahi hal tersebut untuk anda. Anda mempelajari cara terbaik untuk mendapatkan uang karena anda sudah merasa tidak punya cukup uang. Anda berdiri di depan cermin dan terus mengafirmasi kalau anda cantik karena anda sudah merasa tidak cantik. Anda mengikuti tips berkencan dan menjalin hubungan karena anda merasa baahwa memang anda layak dicintai. Anda melakukan latihan visualisasi yang konyoluntuk menjadi lebih sukses karena anda memang merasa tidak cukup sukses.
Ironisnya, pengarahan pemikiran pada hal-hal positif ini—tentang apa yang lebih baik, apa yang lebih unggul—hanya akan mengingatkan diri kita lagi dan lagi tentang kegagalan kita, kekurangan kita, apa yang seharusnya kita lakukan namun gagal kita wujudkan. Bagaimanapun, jika seseorang sungguh bahagia, dia tidak akan merasa perlu untuk berdiri di depan cermin dan mengulang-ulang ucapan kalau dia bahagia. Dia bahagia, ya bahagia begitu saja.
ada sebuah ungkapan di Texas: “Anjing paling mungil menggonggong paling keras”. Seseorang yang percaya diri tidak merasa perlu untuk membuktikan kalau dia pecaya diri. Seorang wanita yang kaya tidak merasa perlu untuk meyakinkan seorang pun kalau dia kaya. Entah anda seperti itu atau tidak. Dan jika anda setiap saat memimpikan sesuatu, anda sebenarnya sedang menguatkan realitas bawah sadar anda, lagi dan lagi: bahwa anda bukan itu.
Setiap iklan TV yang diproduksi ingin agar anda percaya bahwa kunci suatu kehidupan yang baik adalah pekerjaan yang lebih baik, atau mobil yang lebih mewah, atau pacar yang lebih cantik, atau hot tub dengan kolam pompa untuk anak-anak. Dunia secara konstan mencecar anda bahwa jalan menuju kehidupan yang lebih baik adalah lebih, lebih, lebih—beli lebih banyak, dapatkan lebih banyak, buat lebih banyak, bercinta lebih banyak, jadi lebih dan lebih. Anda secara konstan dibombardir dengan pesan untuk memedulikan apa saja, kapan saja. Berpikir untuk membeli TV baru. Liburan ke destinasi yang lebih baik daripada rekan kerja anda. Beli ornament taman baru. Bahkan anda didorong untuk mempertimbangkan membeli tongsis yang cocok.
Mengapa? Dugaan saya: karena membeli lebih banyak barang baik untuk bisnis.
Dan walau memang tidak ada yang salah dari sisi bisnis, masalahnya justru: memedulikan terlalu banyak hal akan berakibat buruk untuk kesehatan mental anda. Ini membuat anda menjadi terlalu terikat padahal-hal yang dangkal dan palsu, anda membiarkan hidup anda demi mengejar fatamorgana kebahagiaan dan kepuasan. Kunci untuk kehidupan yang baik bukan tentang memedulikan lebih banyak hal; tapi tentang memedulikan hal yang sederhana saja, hanya peduli tentang apa yang benar dan mendesak dan penting.
Komentar
Posting Komentar